Habib Ali bin Sholeh Alatas Pencipta Langgam Ad-Diba’i
Kala itu, ia membaca mengikuti apa yang didengar dan diajarkan ayahnya datar saja, tidak ada langgam. Berkat kecerdasannya yang lekat dengan dialek Betawi ini, ia menciptakan langgam sendiri khas Hadhrami.
Memasuki bulan Rabi’ul Awwal, peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW mulai terasa. Satu hari bisa sampai tiga, empat, sampai lima acara. Di Indonesia, peringatan Maulid terus bergeliat hingga memasuki bulan Shafar, bahkan ada yang merayakannya dibarengi dengan peringatan Isra Mi’raj. Hari-hari sepanjang bulan Maulid menjadi begitu sibuk. Ini pun dirasakan oleh Habib Ali bin Sholeh Alatas.
Tiap kali perayaan Maulid Nabi, habib berkepribadian ramah ini tidak pernah absen menghadiri undangan melantunkan kitab Maulid Ad-Diba’idengan suaranya yang merdu, bahkan hingga ke luar negeri. Hebatnya, ratusan bait syair tentang sejarah kehidupan Rasulullah itu ia bacakan tanpa melihat kitabnya, ia hafal di luar kepala.
Ihwal kepiawaian Habib Ali membaca kitab Maulid karya Syaikh Abdurrahman Ad-Diba’i ini berasal dari sang kakek, Habib Muhammad bin Muhsin Alatas, generasi pertama habaib yang menjejakkan kaki di Bekasi, dan ayahnya sendiri, Habib Sholeh bin Abdullah Alatas.
Ketika Habib Sholeh wafat pada 10 Muharram atau 23 Januari 1975, Habib Ali mulai sering diminta membaca Maulid Ad-Diba’i di berbagai tempat. Ia juga melanjutkan kebiasaan sang ayah, membaca Maulid tersebut setiap malam Jum’at di mushalla yang didirikan ayahnya. Dari seringnya membaca, habib kelahiran tahun 1950 ini akhirnya hafal di luar kepala.
Kala itu, ia membaca mengikuti apa yang didengar dan diajarkan ayahnya datar saja, tidak ada langgam. Berkat kecerdasannya yang lekat dengan dialek Betawi, ia menciptakan langgam sendiri khas Hadhrami yang begitu indah. Suaranya yang merdu makin menyempurnakan langgam bacaan Maulid-nya.
Rekaman Maulid dan Shalawat
Tahun 1990, Habib Ali bin Sholeh Alatas diminta oleh Radio Asyafi’iyyah, Jatiwaringin, untuk membacakan MaulidAd-Dibai yang disyiarkan secara luas. Berawal dari situlah langgam irama Maulid-nya yang khas segera menarik perhatian masyarakat luas. Sejak itu pula undangan membaca Maulid Ad-Dibai semakin mengalir. Qari terkenal Indonesia, Muammar Z.A., juga sempat memujinya dan memintanya rekaman.
Pada tahun 1993, Habib Ali diminta rekaman oleh perusahaan Virgo Record. Setelah album perdananya, berturut-turut permintaan rekaman berdatangan dari Naviri Record, dan beberapa studio rekaman lain, untuk melantunkan ratib, Simthud Durar, dan terakhir kumpulan shalawat yang diiringi organ tunggal. Sebagian album kaset hasil rekamannya tersebut hingga kini masih disimpan rapi di rumahnya. Bahkan alKisah mendapatkan oleh-oleh kaset rekaman shalawat dari Habib Ali sepulang wawancara di kediamannya di Jalan Kartini, Bekasi.
Selain sibuk membaca Maulid Ad-Dibai, Habib Ali juga sibuk mengajar dan berdakwah khususnya mengajar dan mengasuh ta’lim peninggalan sang ayah, Majelis Ta’lim Ar-Ridwan. Selain itu, ia juga mengajar di beberapa majelis ta’lim di antaranya di Pengasinan, Kemayoran, Cikuning, Pondok Kelapa, Jatimakmur, dan Bekasi. Semua aktivitas mengajarnya itu ia lakukan hanya ingin mengamalkan sedikit ilmunya seraya berharap keberkahan. Dalam setiap ta’limnya, ia lebih menekankan akhlaq dengan cara mencoba mencontohkan. Ini diambilnya dari apa yang telah diajarkan ayahnya, yang begitu mementingkan pendidikan akhlaq.
Mengutamakan Akhlaq
Habib Ali kecil banyak belajar agama kepada ayahnya. Menurutnya, ayahnya terbilang cukup keras dalam mendidik dirinya. Apalagi kalau soal pendidikan agama dan akhlaq. Ia kerap dimarahi bila tidak menuruti nasihat abahnya. Semasa mendidiknya, ayahnya sangat menekankan pendidikan akhlaq dan moral. “Orang berilmu belum tentu berakhlaq, tetapi orang yang berakhlaq sudah tentu berilmu. Biar ilmunya banyak kalau akhlaqnya rendah, rendah derajatnya. Sebaliknya, biarpun sedikit ilmunya kalau tinggi akhlaqnya, tinggi pula derajatnya,” kata Habib Ali menirukan kata-kata ayahnya.
Sungguh ironi, belakangan berkembang fenomena seorang berilmu namun tidak berakhlaq. Ini menyedihkan. Mereka yang katanya alim (berilmu) sering terlihat berdakwah hingga ke pelosok desa tanpa mengindahkan adab dan akhlaqnya. Banyak kasus para alim yang nota bene tamu undangan tidak memiliki ihtiram (etika) dengan tokoh masyarakat dan agama setempat.
Misalnya, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada para tokoh agama setempat, mereka membuka pengajian, membahas kitab, dan sebagainya. Padahal, tradisi selama ini, para dai yang akan menggelar pengajian itu sebelumnya meminta restu kepada para sesepuh keagamaan setempat, baru mereka berani membuka pengajian.
“Padahal akhlaq adalah wujud dari pengamalan ilmu. Bukankah Rasulullah sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlaq umatnya?” kata Habib Ali.
Menurut Habib Ali, perilaku seperti itu jelas bukan perilaku orang-orang alim. “Seperti yang diajarkan abah saya, yang juga kerap mendidik dan berpesan kepada anak-anak agar bisa menjadi manusia yang berilmu sekaligus berakhlaq. Konsep ajaran Islam itu indah dan penuh penghormatan. Anak harus menghormati orang tua, orang tua menyayangi anak dan yang lebih muda. Dan akhlaq kepada sesama, sekalipun bukan sesama muslim, tetap harus saling menghormati.”
Selain belajar agama dan akhlaq kepada ayahnya, Habib Ali juga belajar ilmu fiqih kepada Mu’allim Mu’thi dan belajar membaca Al-Qur’an kepada Ustaz Muhammad Ali, yang adalah guru mengaji setempat. Ketika beranjak dewasa, secara intensif Habib Ali mengikuti pengajian Habib Abdurrahman Asegaf, di Bukit Duri.
Kini di usianya yang telah memasuki 62 tahun, Habib Ali semakin merasa bersyukur atas nikmat yang telah Allah SWT berikan kepadanya. Dari pernikahannya dengan Syarifah Lu’lu binti Abdullah Alatas, ia dikaruniai tujuh orang anak. Alhamdulillah, mereka mengikuti jejak Habib Ali, berdakwah dengan caranya masing-masing.
Dalam mendidik putra-putrinya, Habib Ali terbilang cukup demokrat. Ia tidak pernah memaksa anaknya untuk menjadi ini dan itu, apalagi memaksa mengikuti jejaknya. “Biar anak yang memilih jalannya sendiri, orangtua tinggal mendukung. Yang penting mereka tetap berada di jalan Allah,” tuturnya.
Menurut Habib Ali, seyogianya orangtua tidak mendidik anak agar takut kepada mereka, melainkan bagaimana mereka bisa secara sadar dan ikhlas menghormati dan berbakti. Dengan menanamkan ilmu agama dan akhlaq, ini mudah. Alhamdulillah Habib Ali telah mempraktekkannya. Alhasil, anak-anaknya tahu apa yang bisa dipersembahkan untuk mendapatkan ridha orangtua. Bahkan anak keempatnya, Habib Abdullah, santri Hadhramaut, ternyata juga sudah menguasai Maulid Ad-Dibai dan siap meneruskan jejaknya.
****
Habib Abdullah bin Ali Alatas
Meraih Ridha Abah untuk Menggapai Ridha Allah
Nasihat dan didikan yang ditanamkan Habib Ali bin Sholeh Alatas begitu berbekas pada benak Habib Abdullah bin Ali Alatas. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini bangga mendapatkan pendidikan langsung dari abah dan uminya: Habib Ali bin Sholeh Alatas dan Syarifah Lu’lu binti Abdullah Alatas.
Sejak kecil kedua orangtuanya begitu disiplin menanamkan pendidikan agama dan akhlaq. Cara yang dulu pernah diajarkan oleh njid-nya (kakek), Habib Sholeh bin Abdullah Alatas.
Selain belajar agama kepada orangtua, Habib Abdullah kecil juga belajar di Madrasah Ibtidaiyyah pada sore hari selepas belajar di Sekolah Dasar Negeri.
Setamat sekolah dasar, ia melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren di Bangil, Jawa Timur, selama dua tahun. Ingin terus mendalami agama, Habib Abdullah melanjutkan nyantri ke Rubath Tarim, Hadhramaut, selama empat tahun.
Tahun 2002 Habib Abdullah diminta kembali ke tanah air oleh Habib Ali untuk meneruskan dakwahnya. Maklum, kala itu kesehatan Habib Ali mulai menurun. Ia pun mencoba mengamalkan ilmunya dengan menggantikan abahnya berdakwah, mengisi ta’lim, dan membaca Maulid Ad-Dibai.
Dalam pembacaan Maulid Ad-Dibai, ia pun mencontoh langgam dan cara abahnya. “Menurut saya, langgam Abah sudah sangat bagus, jadi saya meneruskan saja, tidak perlu menciptakan langgam sendiri. Kalau sudah ada yang lebih bagus, kenapa tidak kita teruskan,” kata Habib Abdullah.
Menurut Habib Abdullah, dahulu, njid-nya, Habib Sholeh, belum memiliki langgam khusus dalam membaca MaulidAd-Diba’i, datar saja. Maka abahnya, Habib Ali, menciptakannya, dengan begitu indah, langgam khas Hadhrami. Oleh karena itu, kini ia tidak perlu menciptakan langgam baru, melainkan melestarikannya.
Suara Habib Abdullah tidak kalah dengan Habib Ali. Ia menuruni suara emas Habib Ali. Jama’ah pun menerimanya dengan hangat. Permintaan membaca Maulid Ad-Dibai semakin banyak. Apalagi di musim Maulid seperti sekarang ini. Bahkan undangan yang memintanya membaca Maulid Ad-Diba’i pun datang dari mancanegara.
Kini, Habib Abdullah telah menjadi penerus Habib Ali, pembaca Maulid Ad-Dibai.
Habib kelahiran 15 Maret 1983 ini merasa senang dan bangga bisa meneruskan jejak abahnya. Ia terharu dengan apa yang telah ia lakukan. Rasa haru itu makin terasa ketika ia membaca sejarah Nabi yang terangkum dalam Maulid Ad-Diba’i di ta’lim rumahnya sendiri maupun di pesantrennya, di kawasan Bantar Gebang, Bekasi. Tanpa disadarinya ia kerap menitikkan air mata.
Harapan habib yang telah menikahi Syarifah Jihan binti Segaf Alatas ini hanya satu, yaitu akan terus melanjutkan dakwah abahnya, demi meraih ridha orangtua, karena di situlah terletak ridha Allah SWT.
Akhir perbincangan dengan alKisah, Habib Abdullah berharap, semoga perayaan Maulid tidak hanya menjadi upacara seremonial biasa. Namun lebih daripada itu, membawa spirit perubahan untuk umat dan bangsa. Sumber
0 komentar:
Posting Komentar